Potensi Rumput Laut
Ditinjau secara biologi, rumput laut (algae/seaweed) merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Rumput laut mengandung bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan rumput laut sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis rumput laut yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam rumput laut sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.
Berbagai jenis rumput laut seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai absorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum Muticum mengandung senyawa alginat untuk industri farmasi. Pemanfaatan jenis rumput laut lainnya adalah sebagai penghasil bioethanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik. Rumput laut dipandang sebagai bio-energi pengganti BBM yang dipercaya jauh lebih ekonomis ketimbang tanaman jarak, minyak kelapa sawit, dan ethanol dari jagung. Penulis biofuel Ruth Morris (2009) bahkan menyebut laut dengan segala keunggulannya sebagai senjata rahasia melawan kecenderungan perubahan iklim (climate change).
Rumput Laut Dari Suplement Hingga Bio Energi
Teknologi olahan bakal diarahkan untuk mendukung peningkatan produksi perikanan budidaya. Penelitian yang terkait dengan teknologi olahan juga diarahkan untuk pengembagan produk baru dan substitusi barang olahan yang saat ini masih di impor. Khususnya untuk rumput laut akan dikembangkan teknologi olahan rumput laut untuk konsumsi dan non konsumsi. Masarakat pun bisa memanfaatkan produk olahan rumput laut berupa suplemen rumput laut (kesehatan), dikonsumsi seperti biasa (agar), untuk keperluan kecantikan, hingga bioenergi.
Hingga kini,produk olahan rumput laut baik yang dikonsumsi maupun yang non konsumsi ada sekitar 500 jenis dan sebagian besar masih impor. �Padahal kita memiliki bahan mentah yang jumlahnya cukup besar dan potensial. Kita hanya ekspor bahan mentah berupa rumput laut kering, dan kita masih impor produk olahan dari rumput laut seperti pasta gigi, ice cream, ataupun kosmetik,� kata Kepala Balai Besar Riset Pengolahan produk dan Bioteknologi Kelautan dan Peikanan, Dr.Ir. Hari Eko Irianto, di Jakarta belum lama ini.
Guna meningkatkan produk olahan rumput laut, Balai Besar Riset Penggolahan produk dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan mulai mengarahkan risetnya untuk memformulasikan ke arah substitusi. Mulai saat ini Riset Pengolahan harus diarahkan untuk menciptakan produk olahan yang bisa bersaing dengan produk-produk olahan dari luar negeri. Di Indonesia, peluang untuk menciptakan produk olahan cukup besar. Hampir semua produk ikan di Indonesia bisa dijadikan produk olahan dan hasilnya sangat menggembirakan. Baik patin, lele dan ikan-ikan yang bakal di produkis dalam skala besar bisa dijadikan produk olahan.
Agar produk olahan di tanah air mampu bersaing dengan produk olahan luar negeri, maka cara membuat olahan jangan sama dengan di luar negeri. Kalau melihat potensi pasar di Uni Eropa, maka jumlah produk olahan yang masuk ke pasar tersebut paling banyak dari Maroko. Produk olahan dari Indonesia hanya sekitar 21 jenis. Padahal produk olahan tak tergantung pada jenis ikannya. Artinya jenis ikan apa saja bisa dijadikan produk olahan yang sesuai dengan yang diinginkan, peluang atau potensi pasarnya juga cukup besar
�Saat ini yang dilakukan hanya meniru produk yang berasal dari luar negeri. Kalau masih seperti ini tentu kita tak akan mampu bersaing. Karena itu masih ada inovasi ke arah penciptaan produk olahan yang benar-benar asli dari Indonesia,� tegas Hari Eko.
Nah, masyarakat luas umumnya mengenal olahan rumput laut dalam bentuk agar-agar. Padahal rumput laut bisa dijadikan teh untuk dikonsumsi. Teh dari rumput laut ini berkhasiat untuk antioksidan dan karotenoid/ fukosantin, tanin (phlorotanin), dan iodium. Olahan rumput laut berupa teh bisa disajikan dengan dicelup (seperti teh celup), serbuk (powder), instan dalam kemasan gelas. Aneka produk olahan rumput laut yang bisa dikonsumsi lainya yang dikembangkan Balai Besar Riset pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan seperti mie rumput laut dan kerupuk rumput laut. Kemudian olahan barbasis surimi(baso dan sebagainya). Rumput laut juga bisa di jadikan kue kering.
Rumput laut dapat dikembangkan menjadi suplemen dalam bentuk tepung, tablet dan kapsul Spirulina sp. Suplemen rumput laut ini dikemas dalam botol gelap tahan selama 3 bulan (suhu kamar 15 derajat celcius). Komoditi unggulan ini juga bisa dijadikan minuman sehat Spirulina sp & Chlorella sp. Di dalam minuman sehat ini konsentrasi 0,3 % flavor additives (pandan, jeruk). Dipastikan minuman sehat tersebut tahan 2 bulan (suhu kamar & dingin). Rumput laut juga bisa dipakai sebagai bahan saos. Tak hanya itu, pecinta ice cream bisa menikmati ice cream rumput laut. Teknologi ice cream rumput laut memanfaatkan alginat 0,8% (karaginan-gum atau alginat-gum) sebagai stabilizer, emulisifer dan thickner tepung ice cream, yaitu 0,4% (iota), karaginan dan 0,1% guargum. Kemudian juga ada suplemen dari rumput berupa tablet effervescent rumput laut yang memanfaatkan aginat 15-20% untuk tablet effervescent dapat membantu menurunkan gula darah.
Seperti diketahui, rumput laut juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan non konsumsi. Balai Besar Riset penggolahan Produk Bioteknologi Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan rumput laut sebagai bahan kosmetik dengan memanfaatkan mikroalgae pada kosmetika (masker). Kemudian skin lotion alginat. Rumput laut juga bisa di kembangkan untuk industri lainya, seperti edible film rumput laut, film coating rumput laut. Teknologi ini bisa memanfaatkan alginofit S. filipendula untuk pembuatan penyalut lapis tipis (film coating), misalnya film coating tablet vitamin A. Bahan : Alginat (1,75%), plasticizer PEG 6000 (20% daro bobot polimer) dan TiO2 (0,5% dari total volume larutan penyalut). Rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai pengental textile printing.
Tak hanya itu saja, limbah rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan memasak. Saat ini telah ditemukan teknologi mengolah briket arang limbah rumput laut. Limbah rumput laut dari pengolahan agar dapat dimanfaatkan dengan dibuat arang briket dengan perekat tapioka menghasilkan panas 4.050 kal/g. R umput laut pun bisa dimanfaatkan untuk pengharum ruangan. Namanya, Pengharum ruangan rumput laut. Teknologi untuk membuat pengharum ruangan rumput laut ini dengan memanfaatkan formulasi karaginan-gum atau agar-gum (1,5%), carrying agent, KCl, Ca asetat, hard parafin, surfaktan, pewangi untuk pengharum ruangan. Ke depan rumput laut akan dikembangkan sabagai bioenergi. Dalam penelitian, sudah ada 20 jenis rumput laut (Banten dan Bali) yang bisa dikembangkan sebagai Bio Energi. Bio Energi rumput laut merupakan salah satu jawaban untuk mengantisipasi semakin mahalnya bahan bakar minyak dunia yang tak bisa diperbaharui. Hanya saja, untuk Sargassum dan ulva tidak bagus karena kurang gula reduksi, namun untuk rumput laut jenis E. Cottoni bagus dengan starter kotoran sapi. Sesuai penelitian, Bio Energi Rumput laut ini rasio C/N E. cottoni 44/l dan limbah karaginan 55/l. Hanya saja, masyarakat sampai saat ini belum bisa memanfaatkan, karena Bio Energi rumput laut masih dalam skala uji coba di laboratorium.
Rumput Laut Penghasil Bioethanol, Potensi Besar Laut Indonesia
Pada era sekarang ini, penggunaan energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.
Salah satu energi yang terbarukan yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dapat diubah menjadi bioetanol.
Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 � 100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Keuntungan mengembangkan energi berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal potensial.
Proses pembudidayaan rumput laut pun relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen. Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.
Rumput laut sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya, jumlah tersebut sangat besar dibandingkan jagung yang menghasilkan 172 liter/tahun dan kelapa sawit yang menghasilkan 5.900 liter/tahun. Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak dibebankan oleh penanganan pendahuluan proses.
Kebermaknaan Rumput Laut
Ada sejumlah alasan mengapa Indonesia harus mendorong pemanfaatan rumput laut sebagai energi terbarukan. Diantaranya adalah:
karena rumput laut tidak dikonsumsi setiap saat oleh manusia maka saat dia dijadikan sumber energi terbarukan, maka relatif kecil konsekuensi yang timbul dari pemanfaatannya sebagai biofuel.
1. sebagai negara kepulauan dengan pantai yang panjang dan iklim yang hangat sepanjang tahun, maka Indonesia adalah negara yang mampu menyediakan rumput laut sebagai bahan pembuatan bioenergi. Oleh karena itu, Indonesia sangat besar berpotensi sebagai salah satu negara pemasok bahan bakar nabati (biofuel) guna memenuhi kebutuhan dunia yang semakin meningkat akan energi bersih.
2. sebagai pensubstitusi bahan bakar fosil, pemanfaatan rumput laut sebagai biodisel adalah bersifat terbarukan dan berkelanjutan serta termasuk energi bersih dan efisien.
3. dapat mencegah terjadinya pemanasan global (Mujizat Kawaroe, 2008).
Dalam kaitannya dengan uraian pada poin 1-4 di atas, Pemerintah Indonesia telah memberikan payung hukum untuk hal itu, yakni melalui Perpres No 5 Tahun 2006. Dalam Perpres ini, dikemukakan perihal tentang Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Adapun pembangunan berkelanjutan dimaksud berarti pengembangan energi terbarukan yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan terjangkau.
Rumput Laut untuk Biodiesel
Indonesia dan Korea Selatan menjajaki kerja sama pengolahan rumput laut jenis Gellidium sp untuk menghasilkan bahan bakar nabati atau biofuel. Perairan Indonesia dinilai potensial untuk membudidayakan Gellidium sp, sedangkan Korsel siap menerapkan teknologi biofuel.
Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen�an Hadi Poernomo, Senin (3/11) di Jakarta, mengemukakan, Korsel melalui Korea Institute of Industrial Technology (Kitech) menawarkan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya rumput laut untuk biodiesel.
Penandatanganan kerja sama direncanakan akhir tahun 2008 dan implementasinya direncanakan berlangsung mulai tahun 2009. Kitech memperkirakan biaya awal produksi biodiesel berbahan baku rumput laut adalah 2 dollar AS per liter. Biaya produksi itu ditargetkan bisa dipangkas menjadi 1 dollar AS per liter pada tahun 2012.
Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Muhammad Murdjani mengatakan, potensi budidaya Gellidium sp meliputi perairan Lombok sampai Papua. Di antaranya, Maluku seluas 20.000 hektar dan Belitung 10.000 hektar.
Pemanfaatan Gellidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. �Pemanfaatan Gellidium sp akan mendorong optimalisasi potensi rumput laut yang selama ini belum banyak diolah,� kata Murdjani.
Menurut Murdjani, kendala utama pengembangan rumput laut adalah minimnya aplikasi teknologi pengolahan dan transportasi angkut. Akibatnya, sebagian besar produk rumput laut dijual dalam bentuk bahan baku sehingga nilai tambah rendah.
Menurut data dari Inha University Korea, satu hektar areal rumput laut bisa menghasilkan 58.700 liter biodiesel, dengan asumsi kandungan minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30 persen.
Biofuel dari Rumput Laut
Rumput laut memiliki potensi sebagai bahan baku biofuel. Kandungan karbohidrat yang tinggi dari rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil bioetanol dan biogas. Di Norwegia rumput laut Laminaria telah dimanfaatkan sebagai penghasil bioetanol (Horn et al, 2008) dan di Jepang telah memanfaatkan Ulva dan Laminaria sebagai penghasil biogas (Matsui et al., 2006).Hasil penelitian oleh Abdillah (2008) menunjukkan bahwa rumput laut berpotensi sebagai bahan penghasil gas metan. Rata-rata kadar metan yang dihasilkan dari fermentasi anaerob tiga jenis rumput laut Padina, Gracilaria dan Sargassum mencapai 19 %.Sumberdaya kelautan seperti rumput laut menyimpan potensi bioteknologi kelautan yang sangat besar.
Sumber Refrensi :
1. http://rumputlautindonesia.blogspot.com/2010/10/rumput-laut-dari-suplement-hingga-bio.html
2. http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2010/06/21/brk,20100621-257065,id.html
3. http://pijar.org/content/view/217/72/
4. http://adios19.wordpress.com/2011/06/09/rahasia-rumput-laut-sebagai-bioenergi/
Rumput laut sebagai sumber alternatif energi merupakan hal baru yang harus didukung dan dikembangkan. Mikro alga sebagai biodisel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjajaki kerjasama dengan Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) sebelum mengikuti the 2nd International Bionergy Forum di Seoul, Korea Selatan (30/10).
Kerjasama ini mempertemukan kebutuhan dan potensi dua pihak yang saling menguntungkan. Korea Selatan telah memiliki teknologi untuk memanfaatkan rumput laut sebagai sumber energi, lengkap dengan grand strategy, road map, model dan kegiatannya. Hal ini dipicu oleh kebutuhan yang sangat besar tentang energi, tapi tidak didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam di negerinya. Bahan untuk kebutuhan rumput laut tentu memiliki keterbatasan. Dilain pihak, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pantai yang panjang serta iklim yang hangat sepanjang tahun menyediakan potensi yang besar untuk menyediakan rumput laut sebagai bahan pembuatan bio-energi. Hanya saja, teknologi untuk itu belum dimiliki sehingga membutuhkan mitra untuk saling meraih keuntungan, jangka menengah dan jangka panjang.
Paradigma melihat bahan bakar energi energi sebetulnya dapat dilihat dari perubahan berganti-ganti melalui lima paradigma. Pada awal 1940, negara besar berupaya memperoleh wilayah yang kaya minyak. Termasuk Jepang yang mengincar Asia Tenggara, sehingga menyulut perang dunia di Asia Pasifik dengan Amerika dan sekutunya. Periode kedua, adalah pada saat terjadi perang teluk tahun 1970-an. Krisis minyak terjadi, harganya melonjak tinggi tapi dengan penemuan teknologi baru dan perdamaian dapat diwujudkan, harga minyak mulai normal. Selanjutnya pada tahun 1990-an, masyarakat dunia mulai menyadari adanya ancaman pemanasan bumi (global warning). Kebutuhan terhadap sumber energi yang bersih dibutuhkan, maka diberbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi banyak berlomba menemukan clean technology (teknologi yang bersih). Saat ini, yaitu mulai tahun 2000-an, saatnya masyarakat menggunakan paradigma kelima, yakni mulai menerapkan teknologi biomassa yang terbarukan dan berkelanjutan (renewable and sustainable technology). Dan ini termasuk bioenergi dari rumput laut.
Kerjasama yang akan dikembangkan oleh DKP dan KITECH adalah penelitian, pengembangan serta penerapan bio-teknologi kelautan dan pembangunan lingkungan, dengan ruang lingkup kerjasama meliputi: pengembangan bio-teknologi kelautan dan lingkungan, pertukaran data dan informasi, pertukaran pakar dan peneliti, melibatkan para peneliti dalam workshop dan penelitian bersama, pengembangan budidaya dan pasca panen perikanan, membangun kapasitas sumberdaya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan, mengembangkan pemanfaatan spesies alga yang lebih luas dan metode budidayanya, penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan metode budidaya, alih teknologi dalam pengembangan teknologi baru budidaya rumput laut, pembangunan fasilitas produksi baru, dan kenyamanan dalam pemeliharaan dalam budidaya rumput laut.
Pemanfaatan alga sebagai biodisel sebetulnya menjawab pertentangan dua kutub dalam memanfaatkan biodisel yang berasal dari tanaman daratan, yaitu kutub yang berorietasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan kutub yang cenderung mengkonversi lahan untuk bahan baku biodisel dari tanaman sebagai energi terbarukan. Keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan lahan daratan.
Rumput laut pantas menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna, karena beberapa keunggulannya, antara lain: peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut; teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus pembudidayaannya relatif singkat yakni hanya 45 hari, sehingga cepat memberikan keuntungan; kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Kegunaan rumput laut sangat luas, dan dekat sekali dengan kehidupan manusia.
Saat ini sumber energi dunia masih didominasi oleh sumber yang tidak terbarukan (minyak, batubara dan gas), yakni sekitar 80,1%, dimana masing-masing adalah minyak sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan gas 20,44%. Sumber energi terbarukan, tapi mengandung resiko tinggi adalah energi nuklir sekitar 6,3%. Sumber energi yang terbarukan baru sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional sekitar 8,5%. Yang tergolong terbarukan disini termasuk tenaga surya, angin, tenaga air, panas bumi dan bio-energi. Keuntungan penerapan bionergi sudah jelas, yakni: (1) terbarukan dan berkelanjutan, (2) bersih dan efisien, (3) netral dari unsur karbon, malah bisa berdampak negatif terhadap karbon, (4) dapat menggantikan bahan bakar minyak untuk transportasi, (5) mengurangi pemanasan global (global warning) dan pencemaran udara, pencemaran air, dan (6) menjawab ketergantungan pada energi yang tak terbarukan.
Sumber : http://www.epasarikan.com/admin/Bulletins/Biodesel07.pdf
Penggunaan energi sehari-hari semakin hari semakin meningkat akan tetapi persediaan energi terutama dari bahan bakar minyak (BBM) makin menipis dan mungkin akan habis sama sekali. Pemakaian energi dari BBM seperti premium, solar sampai minyak tanah juga menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Dampak pemanasan global, sangat terasa sejak Tahun 1998 terjadinya kenaikan temperatur yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut sekitar 10-25 cm, dan diprediksi pada tahun 2100 temperatur akan meningkat 6�C. Apabila tidak ada pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas bagi umat manusia. Oleh karenanya segera untuk dilakukan upaya pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil. Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.
Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama. Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.
Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.
Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.
Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha. Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.
Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa :
Penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol.
Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.
Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.
Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini?
Kapan kita mulai?. atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian?. Semoga kali ini tidak.
Sumber : http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-dan-terbarukan/4017-rumput-laut--sumber-energi-alternatif-.html
Indonesia harus menetapkan strategi menggunakan rumput laut sebagai bahan bakar nabati utama.
Bahan bakar fosil pasti akan habis. Tenaga surya akan terkena dampak perubahan iklim di wilayah tropis yang semakin banyak hujan. Adapun biofuel dari tanaman darat, akan bersaing dengan program ketahanan pangan dan persaingan penggunaan lahan tanah dengan pemukiman.
"Dilain hal, negeri kita jelas merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki pantai terpanjang di dunia�, demikian disampaikan oleh Soen�an H. Poernomo dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada saat memberikan tanggapan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian PPN/Bappenas yang membahas tentang �Ketahanan Energi dan Perubahan Iklim�, tanggal 3 November 2010.
Indonesia dengan produksi rumput laut terbesar di dunia, yakni 1.021.143 ton, sangat feasible untuk mengandalkan rumput laut sebagai sumber energi. Selama ini rumput laut kebanyakan hanya untuk makanan, kosmetik dll
Prof. Dr. Emil Salim
Penggunaan rumput laut sebagai andalan strategis tersebut didukung oleh Dr. Sugiharto, SE, MBA, Komisaris Utama Pertamina (Persero) karena hal tersebut sesuai dengan kondisi geografis negeri kita dan sekaligus akan meningkatkan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat pesisir yang relatif lebih miskin.
Prof. Dr. Emil Salim juga mengingatkan bahwa negeri kita memiliki sumber daya laut yang terbesar di dunia. Indonesia harus bergeser dari bahan bakar yang tidak terbarukan
Potensi seperti minyak, batu bara, gas alam dan sebagainya, menuju ke bahan bakar dari sumber daya alam yang terbarukan, seperti hasil pertanian, budidaya rumput laut dan sebagainya yang pasti bisa dikelola secara berkelanjutan. "kalau India dan Cina tidak memiliki banyak sumberdaya laut, ini berarti negeri kita memiliki daya saing lebih, dibanding dua raksasa ekonomi baru tersebut"ujarnya.
Menurut Soen�an, sebetulnya strategi politik energi Korea selatan bagus dijadikan contoh. Negeri yang menyadari keterbatasan kepemilikan bahan bakar fosil ini, mengandalkan energi dari rumput laut untuk masa depannya.Korean Institute of Technology (KITECH) menginginkan bisa bekerjasama membuat model pemanfaatan rumput laut sebagai bahan bakar di Sulawesi Barat atau di Kepulauan Bangka Belitung.
Profesor Ir. Widjajono Partowidagdo, Ph. D dari Dewan Energi Nasional, yang juga sebagai Guru Besar ITB, melihat peluang energi laut dari banyaknya selat diantara pulau-pulau di Indonesia. Di perairan luar Jawa akan bisa diperoleh energi yang lebih murah dalam daerah atau masyarakat yang berdomisili di wilayah terpencil. Ia memberikan contoh lain, seandainya air di Danau Poso, Sulawesi Tengah, dimanfaatkan, maka akan diperoleh energi senilai 3 cent dolar AS per KWH, dibanding dari minyak berharga 33 cent dolar AS per KWH dan kalau gas senilai 13 cent dolar AS per KWH
Sumber : http://wartapedia.com/bisnis/potensi/978-qrumput-lautq-bahan-bakar-strategis.html
Pada era sekarang ini, penggunaan energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.
Salah satu energi yang terbarukan yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dapat diubah menjadi bioetanol.
Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78�100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume.
Keuntungan mengembangkan energi berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal potensial.

Proses pembudidayaan rumput laut pun relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen. Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.
Rumput laut sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya, jumlah tersebut sangat besar dibandingkan jagung yang menghasilkan 172 liter/tahun dan kelapa sawit yang menghasilkan 5.900 liter/tahun.
Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak dibebankan oleh penanganan pendahuluan proses.
Sumber:
http://yudiprasetyo.info/rumput-laut-sebagai-bahan-pembuatan-biofuel/
indosmarin.com/2008/11/ri-korea-kembangk...el-dari-rumput-laut/
http://portal.pi-umkm.net/en/opini/quo-vadis-kekayaan-laut.html
go-greenergy.blogspot.com/2009/07/rumput...i-bahan-biofuel.html
http://rumputlaut.org/undip-kembangkan-bahan-ba...oetanol-rumput-laut/
majalahenergi.com/media/kunena/attachmen...ages/rumput_laut.jpg
http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bioenergy/rumput-laut-penghasil-bioethanol-potensi-besar-laut-indonesia
Kebutuhan energi Fosil seperti bensin atau solar, kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan, bahwa, kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan engergi fosil ini. Padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya. Karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan.
Pengaturan penggunaan BBM bersubsidi yang belakangan digagas oleh pemerintah. Lebih didasarkan agar subsidi BBM bisa relatif tepat sasaran, bukannya bagaimana mengurangi konsumsi BBM itu sendiri. Misalnya melalui pengaturan jumlah maksimum kendaraan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ketersedian energi fosil yang tidak terbarukan habis lebih cepat dari perkiraan.
Ironinya, meskipun isu krisis energi santer didengungkan, hal tersebut seperti angin lalu saja. Terutama jika mengacu pada angka kebutuhan BBM. Padahal dengan mengurangi konsumsi energi fosil bisa meredam gejolak global warming yang kian menunjukkan jati dirinya.
Karena disinyalir, dampak dari global warming ini, sangat terasa sejak Tahun 1998. Seperti naiknya temperatur suhu bumi yang melelehkan es dikedua kutub bumi dan membuat permukaan air laut meningkat sekitar 10-25 cm, bahkan pada tahun 2010 temperatur diprediksi akan meningkat hingga 6�C.
Apabila tidak ada upaya pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas hidup umat manusia. Misalnya melalui pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil.
Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, dimana Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.
Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama.
Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.
Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.
Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.
Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha.
Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.
Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.
Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.
Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini? Kapan kita mulai? atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian? Semoga kali ini tidak.
Sumber : http://www.greenmining.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=342&catid=89&Itemid=106