Latest News

Showing posts with label Energi - Bioethanol. Show all posts
Showing posts with label Energi - Bioethanol. Show all posts

Tuesday, August 16, 2011

Bahan Bakar Bioetanol Bisa Gantikan Premium

Bahan bakar BE85 bisa digunakan sebagai energi alternatif ramah lingkungan pengganti bahan bakar fosil yang tingkat polusi dari proses pembakarannya cukup tinggi.



Wah mengapa? Karena BE85 bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar bensin. Ini karena BE85 memiliki nilai kalor atau panas yang lebih rendah daripada premium.



Dosen di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Hendry Yoshua Nanlohy, mengatakan BE85 merupakan bahan bakar Bioetanol yang dapat dipakai untuk sepeda motor berbahan bakar bensin. Di mana bahan bakar tersebut bisa didapatkan dengan cara mencampurkan 85 persen Bioetanaol dengan bensin (premium) sebesar 15 persen.



"Efisiensi termal terbesar yang dihasilkan BE85 untuk sepeda motor adalah 17,44 persen pada putaran mesin 3000 rpm (round per minutes). Sedangkan pada premium terjadi pada 7.500 rpm sebesar 20,36 persen. Hal ini berkaitan dengan temperatur gas buang yang dihasilkan dari masing-masing bahan bakar," ujar Hendry kepada wartawan di Jayapura, Sabtu (26/11/2011).



Dia mengatakan, dibandingkan dengan bahan bakar premium, bahan bakar BE85 memiliki kelebihan dalam hal efisiensi termal atau panas yang dihasilkan dari pembakaran lebih rendah dibanding premium.



Pada putaran mesin terbesar, temperatur gas buang bahan bakar BE85 standar antara 530 hingga 540 derajat selsius. Sedangkan premium bisa mencapai 870 sampai 890 derajat selsius pada putaran mesin terbesar.



"Tetapi kandungan energi yang dimiliki Bioetanol lebih kecil dibandingkan premium. Oleh sebab itu, untuk memperoleh daya yang setara atau lebih besar maka kita perlu mensuplai bahan bakar yang lebih banyak lagi," lanjut Dosen Teknik Mesin ini.



Menurutnya, apabila berjalan sempurna maka proses pembakaran bahan bakar fosil hanya menghasilkan gas karbondioksida. Tetapi kenyataannya pembakaran tersebut tidak berlangsung sempurna sehingga dari proses itu dihasilkan pula beberapa gas yang membahayakan kesehatan tubuh manusia di antaranya gas karbonmonoksida, hidrokarbon dan nitrogen.



Sedangkan Bioetanol pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang lebih banyak sehingga proses pembakaran lebih sempurna dan bisa mengurangi terbentuknya gas buang karbon,� terang Hendry.



Sumber : http://economy.okezone.com/read/2011/02/26/320/429160/



Sunday, August 14, 2011

Bioetanol Padat yang Praktis

Kemudahan mendistribusikan bahan bakar padat menjadi inspirasi Soelaiman Budi Sunarto ketika ingin meracik bioetanol padat. Pendiri Koperasi Serba Usaha Agromakmur, Karanganyar, Jawa Tengah, ini terus menginovasi temuan-temuannya berkait energi untuk masyarakat pedesaan.



"Setiap kali saya menemukan cara baru untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, tidak pernah berniat untuk mengajukan patennya. Ini supaya masyarakat mana pun mudah membuatnya," kata Budi, Kamis (16/12/2010) di Jakarta.



Sejak tahun 1998, Budi menggeluti usaha di pedesaan untuk memproduksi apa pun sebisa mungkin. Bioetanol hanya salah satunya. Selain itu, Budi juga memproduksi jamur tiram dengan isi polybag khas racikan dia, hingga dikenal lebih banyak menghasilkan jamur dibandingkan yang lainnya.



Budi juga menciptakan alat pembentuk gas metana untuk sumber energi ramah lingkungan dari sampah organik. Alat itu dinamai albakos, singkatan dari alat biogas konsumsi sampah.



Ia juga memberikan nama kompor "Bahenol" untuk ciptaan kompor berbahan bakar hemat etanol. Baru-baru ini Budi memaparkan temuan barunya, bioetanol padat. Ia sendiri lupa kapan memperoleh inspirasi itu secara pasti. "Inspirasinya sudah sejak lama," ujar Budi.



Tanpa jelaga



Bioetanol yang dimaksudkan Budi adalah etanol atau alkohol. Budi memproduksinya dengan proses fermentasi bahan-bahan organik mengandung glukosa.



Di pedesaan, Budi mudah menjumpai limbah organik dari hasil pertanian. Seperti sekam padi juga mengandung glukosa. Begitu pula limbah sayur-mayur bisa dijadikan bahan organik untuk fermentasi menghasilkan bioetanol.



"Limbah pertanian air kelapa menjadi salah satu bahan baku paling baik. Tetapi, selama ini yang terbaik untuk membuat alkohol tetap dari tetes tebu," kata Budi.



Budi juga memproduksi mikroorganisme yang dipakai untuk fermentasi bahan organik. Selama ini Budi juga mendidik generasi muda untuk banyak memproduksi bioetanol.



Cita-citanya di kemudian hari, akan terdapat pompa-pompa bahan bakar bioetanol di mana pun juga. Tidak sulit untuk mewujudkannya karena bahan bakunya tersedia melimpah di sekitar kita.



Bioetanol memiliki titik nyala rendah sekitar 13 derajat celsius sehingga sangat mudah terbakar. Untuk bahan baku bioetanol padat, Budi menggunakan kadar 80 persen. Kadar ini merupakan hasil penyulingan tahap pertama.



Alkohol memiliki titik didih 78 derajat celsius. Melalui pemanasan, alkohol mudah dipisahkan dengan kadar air yang memiliki titik didih sampai 100 derajat celsius.



"Pendistribusian bioetanol cair tergolong susah. Misalnya, setiap kali saya membawa hasil uji coba bioetanol ke Jakarta untuk dianalisis laboratorium, selalu saja ditahan di bandara keberangkatan di Solo," kata Budi.



Sekarang, lanjut Budi, ketika membawa bioetanol padat dari Solo ke Jakarta tidak lagi terhambat di bandara. Tidak diizinkannya membawa bioetanol cair di dalam pesawat ini juga bagian dari inspirasi Budi untuk menciptakan bioetanol padat.



Pendistribusian bioetanol padat tidak membutuhkan wadah seperti bioetanol cair yang tidak boleh bocor. Kemasan bioetanol padat menjadi tidak merepotkan dibandingkan bioetanol cair. "Ketika dipakai untuk bahan bakar kompor, bioetanol padat tidak mengeluarkan jelaga," katanya.



Bagaimana bioetanol dipadatkan?



Limbah minyak bumi




Sebetulnya, bioetanol padat bukanlah diperoleh dari proses pemadatan atau pembekuan bioetanol cair. Bioetanol padat adalah penyertaan bahan bakar cair bioetanol ke dalam bahan padat residu minyak bumi yang dikenal sebagai stearit acid.



Stearit acid merupakan bahan baku parafin atau lilin. Stearit acid juga dikenal sebagai palm wax. Harga di pasaran Rp 17.000 sampai Rp 20.000 per kilogram.



"Cara membuatnya, padatan stearit acid dipanaskan terlebih dahulu sampai mencair," ujar Budi.



Kemudian disiapkan setengah liter bioetanol untuk campuran stearit acid 1 kilogram. Hanya diaduk sebentar, kemudian campuran harus segera didinginkan.



Pendinginannya di wadah paralon dengan ukuran 3 dim. Ini supaya ketika dingin dan memadat kembali, akan membentuk tabung atau silinder paralon. "Saya mempersiapkan potongan paralon 3 dim itu masing-masing sepanjang 30 sentimeter," kata Budi.



Untuk 1 kilogram stearit acid dan setengah liter bioetanol tersebut, Budi memperoleh dua selongsong bioetanol padat. Ia kemudian memotongnya dengan panjang 2 sentimeter, hingga diperoleh 20 potong.



Ketika dinyalakan di kompor, satu potong bioetanol itu mampu bertahan menyala hingga dua jam. Budi membuat perbandingan dengan kompor minyak tanah. Dengan minyak tanah satu liter, ternyata juga mampu menyala selama dua jam.



Jika dihitung biaya produksinya, satu potong bioetanol padat berukuran 2 sentimeter itu sekitar Rp 4.000. Adapun minyak tanah Rp 7.000 per liter. "Bioetanol padat ini jauh lebih murah," kata Budi.



Budi telah menunjukkan hasil nyata yang bisa diuji kembali oleh para ahlinya. Bagi dia, inovasi tidak harus melalui riset dengan biaya tinggi. Inovasi yang sederhana dan mudah diterapkan justru lebih bernilai bagi masyarakat.



Sumber : http://sains.kompas.com/read/2010/12/24/10423723/Bioetanol.Padat.yang.Praktis



Bioethanol Lebih Ekonomis

Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Anda pun akan mendapatkan nilai ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol Anda bisa berhemat Rp 4 ribu. Lebih ekonomis, bukan?



Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya.



Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Temuan ini membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.



Sudah sekitar enam bulan, Bambang memakai bioethanol sebagai bahan bakar untuk kepentingan dapur rumah tangganya. Ia bisa berhemat sekitar Rp 4 ribu dibandingkan saat memakai bahan minyak tanah, yang seharinya mengeluarkan Rp 16 ribu.



�Untuk warga pedesaan, nilai rupiah itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain,� ujarnya.



Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, Anda hanya membutuhkan satu liter bioethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit.



Bambang menceritakan proses pembuatan bioethanol yang dilakukannya. Menurutnya, bahan baku bioethanol itu terbagi tiga. Bahan berpati, bahan bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nila, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya ubi kayu, sagu, jagung, biji sogun, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia.



�Oleh ITS disarankan pengembangan bioethanol itu tidak menggunakan bahan yang dimakan manusia. Hal itu agar tidak mengganggu ketahanan pangan nasional,� ujarnya.



Untuk penggunaan bahan baku berpati, Bambang memilih singkong yang tidak dimakan manusia, yaitu singkong yang beracun. Lalu, ia pun memanfaatkan limbah sagu dan bonggol jagung. Intinya adalah, ia menghindari bahan baku yang secara langsung dimakan manusia, dan memakai limbah dari bahan makanan tersebut.



�Proses pembuatan bioethanol itu tidak lama. Paling yang agak lama adalah proses peragian yang bisa mencapai 2-3 hari,� kata Bambang.



Bambang pun mulai menjelaskan langkah-langkah yang biasa ia lakukan, dalam membuat bioethanol. Singkong racun dan kulit pisang itu dihancurkannya, dan dijadikan bubur. Setelah hancur, bubur itu dicampur ragi agar menghasilkan glukosa. Proses ini akan menghasilkan bahan baku bergula.



�Nah, bahan bergula yang disebutkan tadi sebenarnya akan mempersingkat proses pembuatan bioethanol. Karena kita melewati proses penghancuran dan peragian itu,� jelasnya.



Setelah mendapatkan glukosa, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi. Caranya, kembali memberikan ragi ke dalamnya. Dari proses ini maka diperolehlah bioethanol dengan kadar alkohol rendah. �Setelah proses ini selesai, kita bisa segera memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak,� pungkasnya.



Sumber : http://www.greenradio.fm/technology/energy/bio-energy/446-bioethanol-lebih-ekonomis



Thursday, August 11, 2011

Rumput Laut Penghasil Bioethanol, Potensi Besar Laut Indonesia

Pada era sekarang ini, penggunaan energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.

Salah satu energi yang terbarukan yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dapat diubah menjadi bioetanol.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78�100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume.

Keuntungan mengembangkan energi berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal potensial.

Proses pembudidayaan rumput laut pun relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen. Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.

Rumput laut sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya, jumlah tersebut sangat besar dibandingkan jagung yang menghasilkan 172 liter/tahun dan kelapa sawit yang menghasilkan 5.900 liter/tahun.

Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak dibebankan oleh penanganan pendahuluan proses.

Sumber:
http://yudiprasetyo.info/rumput-laut-sebagai-bahan-pembuatan-biofuel/
indosmarin.com/2008/11/ri-korea-kembangk...el-dari-rumput-laut/
http://portal.pi-umkm.net/en/opini/quo-vadis-kekayaan-laut.html
go-greenergy.blogspot.com/2009/07/rumput...i-bahan-biofuel.html
http://rumputlaut.org/undip-kembangkan-bahan-ba...oetanol-rumput-laut/
majalahenergi.com/media/kunena/attachmen...ages/rumput_laut.jpg
http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bioenergy/rumput-laut-penghasil-bioethanol-potensi-besar-laut-indonesia

Wednesday, August 10, 2011

RUMPUT LAUT ALTERNATIF SUMBER ENERGI

Kebutuhan energi Fosil seperti bensin atau solar, kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan, bahwa, kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan engergi fosil ini. Padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya. Karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan.

Pengaturan penggunaan BBM bersubsidi yang belakangan digagas oleh pemerintah. Lebih didasarkan agar subsidi BBM bisa relatif tepat sasaran, bukannya bagaimana mengurangi konsumsi BBM itu sendiri. Misalnya melalui pengaturan jumlah maksimum kendaraan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ketersedian energi fosil yang tidak terbarukan habis lebih cepat dari perkiraan.

Ironinya, meskipun isu krisis energi santer didengungkan, hal tersebut seperti angin lalu saja. Terutama jika mengacu pada angka kebutuhan BBM. Padahal dengan mengurangi konsumsi energi fosil bisa meredam gejolak global warming yang kian menunjukkan jati dirinya.

Karena disinyalir, dampak dari global warming ini, sangat terasa sejak Tahun 1998. Seperti naiknya temperatur suhu bumi yang melelehkan es dikedua kutub bumi dan membuat permukaan air laut meningkat sekitar 10-25 cm, bahkan pada tahun 2010 temperatur diprediksi akan meningkat hingga 6�C.

Apabila tidak ada upaya pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas hidup umat manusia. Misalnya melalui pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil.

Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, dimana Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.

Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama.

Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.

Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.

Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.

Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha.

Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.

Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.

Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini? Kapan kita mulai? atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian? Semoga kali ini tidak.

Sumber : http://www.greenmining.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=342&catid=89&Itemid=106